Hujan di Belakang Padang

hujan-di-belakang-padang-kepri

Dulu, hujan hanya saya anggap fenomena alam biasa. Sebagian kala hujan membuat saya gembira : menghirup aroma tanah basah, tanaman saya tidak perlu disirami, bisa meringkuk sambil berselimut di kamar sambil membaca buku cerita, memandang wiper bergerak di kaca saat dalam mobil, atau yang paling romantis naik motor membelah hujan deras berdua kekasih. Sebagian kala hujan lainnya membawa perasaan mellow seperti hujan di hari senin pagi (ini sih tepatnya bikin males aja), saat terjebak di tempat les tanpa ada satupun angkot yang lewat, saat saya lupa bawa payung (saya selalu sedia payung sebelum hujan sejak berani bepergian sendiri, jadi mungkin sekitar kelas 5 SD), saat listrik jadi dipadamkan padahal ada acara televisi menarik yang ingin saya saksikan atau hujan lebat berpetir yang sesungguhnya kadang menakutkan hingga meyakinkan saya bahwa sesungguhnya manusia adalah mahkluk yang kecil dihadapan sang maha kuasa.

Hingga 3,5 tahun lalu saya menikah dan tinggal di Belakang Padang.
Suatu pulau imut yang hanya 'selemparan kolor' dari Singapura tetapi sebagian besar warganya masih mengandalkan air hujan sebagai pemenuh utama akan kebutuhan air bersih (terutama untuk mandi, cuci, kakus (MCK), untuk air minum tersedia beberapa tempat pengisian air galon isi ulang).

Miris? Sebenarnya iya, tapi saya tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Pemerintah sudah berusaha menyediakan infrastuktur yaitu sebuah dam / waduk buatan yang airnya dialirkan ke rumah-rumah oleh PDAM. Namun, karena pulau ini menang tidak ada sumber mata air, dam tersebut juga akan mengering bila lama tidak ada hujan. Tidak semua rumah juga dapat dijangkau pipa PDAM, misalnya rumah yang berada diatas bukit seperti rumah yang kami tinggali atau rumah-rumah warga yang berbentuk panggung dan terpencar di atas lautan. Alternatif lain, dalam masa kampanye walikota, ada paslon yang mengumbar janji untuk membangun sumber air bersih dengan teknologi mengubah air laut menjadi air bersih. Beritanya bahkan dimuat di koran lokal. Tetapi hingga sekarang belum terealisasi. Saya yakin masalahnya ialah biaya yang tak sedikit. Ya iyalah, sepengetahuan saya, negara yang sudah menerapkan hal tersebut ialah Uni Emirat Arab. Tahu sendiri, kan kekayaan negara itu?!

Lantas, apakah warga Belakang Padang berdiam diri saja? Sebenarnya tidak juga, ada beberapa warga yang menggali sumur bor. Modalnya tentu tidak sedikit, karena harus mendatangkan ahli pengebornya maupun bahan bangunan dari pulau Batam. Barangkali setara juga dengan biaya membangun rumah sederhana. Memiliki uangnya pun belum tentu bisa menggali sumur, karena faktor lokasi. Pulau kecil ini rata-rata air tanahnya masih payau, karena air laut masih meresap hingga ke titik paling tengah pulau sekalipun. Akhirnya pilihan yang tersisa memang hanya menampung air hujan. Air yang jatuh ke atap rumah dialirkan melalui talang menuju tempat penyimpanan. Sarana yang digunakan macam-macam, ada yang memberdayakan segala perabotan rumah tangga mulai dari ember, panci dan sebagainya; drum atau tandon air dan yang paling lazim ialah membangun bak penampungan air permanen.

Membangun bak ini modalnya juga tak sedikit. Seperti di rumah kami, bak dibangun oleh almarhum bapak mertua, di bawah tanah dengan ukuran setara kamar tidur biasa. Saya tak bisa menghitung dengan pasti berapa meter kubik air yang dapat disimpan, tetapi cukup digunakan kami sekeluarga selama ini. Alhamdulillahnya seringkali bahkan masih ada air untuk berbagi disaat para tetangga membutuhkan.

Tentu adaptasi masih di butuhkan, penghematan air sedaya upaya saya (dan saya yakin warga Belakang Padang lain ) lakukan. Kebiasaan mandi dengan menghabiskan air satu bak penuh saya tinggalkan. Satu atau dua ember sedang harus cukup! Hoahahahaa.. Awalnya cukup sulit, tapi lama kelamaan menjadi terbiasa. Anak-anak sedari kecil sudah diajarkan betapa valuablenya air bersih. Ziqri yang hobbynya bermain air setiap mandi dan menghidupkan shower sepanjang bermain air, saya batasi hanya saat mudik ke rumah omanya di Tanjung Balai Karimun.

Btw, omanya juga sempat prihatin, memikirkan nasib saya yang sama dengan cerita hidupnya di zaman tahun 60an, mandi di sungai atau air hujan. Tapi setelah itu di Muara Dua, Sumatra Selatan, yang nota bene masih kota Kecamatan, telah mengalir air PDAM. Jadilah atas 'request' oma, setiap musim kemarau, kami boyongan balik ke Tanjung Balai Karimun.

Terlebih musim kemarau tahun lalu. Belakang Padang mengalami masa kekeringan yang cukup parah. Hujan tak turun berminggu-minggu. Bak air di rumah kami mengering. Ternyata setelah diperiksa, ada kebocoran sehingga banyak air yang merembes. Suami dan saudara ramai-ramai mengambil air di dam dengan menggunakan jerigen air. Namun sesungguhnya air di dam pun telah berkurang drastis bahkan hingga dibatasi hanya dialirkan ke rumah warga 3-4 hari sekali.

Pada akhirnya, warga yang tinggal dekat dengan pantai kerap membeli air dari pedagang air yang mengambil air dari pulau Batam dan di bawa dengan disikan dalam jerigen lalu dinaikan ke kapal kayu bermotor tunggal. Pembelian biasanya dilakukan dengan sistem borongan dengan biaya ratusan ribu rupiah. Sedangkan warga yang tinggalnya agak ketengah pulau berduyun-duyun mengantri air untuk membelinya dari sumur-sumur bor yang mendadak dikomersilkan. Satu jerigen air berukuran kira-kira 20 liter dihargai seribu rupiah. Berapa banyak biasa yang dikelurkan per hari per rumah bisa dikalkulasikan sendiri.

Kondisi yang diperparah dengan kabut asap akibat pembakaran hutan, mendorong warga kompak mengadakan Shalat Istigosah. Serentak diadakan suatu hari, sehabis Shalat Jum'at baik di Pulau Belakang Padang maupun Pulau Batam. Saya yakin pemeluk agama lain pun selalu mengirimkan do'a-do'anya mengharapkan hujan. Alhamdulillah petang itu hujan turun pertama kalinya. Saya sendiri merasa sangat terharu dan bahagia. Baru kali itulah saya benar-benar merindukan hujan turun.

Begitulah, hujan adalah anugrah dan sangat dalam maknanya bagi warga Belakang Padang. Bahkan sebagian orang yang saya kenal tidak terbiasa minum air mineral kemasan ataupun air PDAM. Mereka bilang, rasa airnya berbeda karena bertahun-tahun telah terbiasa minum air hujan yang dimasak sendiri. Banyak orang juga khawatir, mandi air hujan akan menimbulkan berbagai penyakit tulang di masa tua, katakanlah rematik. Saya tak berani membantah pernyataan itu. Tetapi sesungguhnya sejak terbiasa mandi air hujan, saya justru lebih jarang terkena flu atau amandel saya bangkit. Mungkin istilahnya jadi lebih kebal. Kalau dulu, terkena gerimis sedikit saja saya bisa langsung meriang dan jadi malas keluar rumah, sekarang, meminjam istilah Ziqri : "cuma gerimis aja, koq" lalu dengan cuek tetap beraktifitas seperti biasa, termasuk bepergian. Hoahahaha.

Semoga curah hujan tahun ini cukup tinggi, sehingga Belakang Padang tidak mengalami kesulitan air lagi. Aamiin.



Note : ditulis pagi hari setelah hujan 2 hari 2 malam turun hampir tidak berhenti. Alhamdulillah