Teliti Lagi Lembar Tagihan Atau Bukti Pembayaran


Teliti Lagi Lembar Tagihan Atau Bukti Pembayaran

Teliti Lagi Lembar Tagihan Atau Bukti Pembayaran Kita

Warga Batam dan Kepulauan Riau pada umumnya mungkin masih ingat kasus ini? Iya, seorang Walikota Batam mempertanyakan besarnya tagihan restoran yang jumlahnya fantastis.

Memicu perdebatan sengit di antara netizen, ada yang meyalahkan Pak Wako kenapa tidak mengecek harga di daftar menu dari awal hingga tidak menghitung berapa banyak anggotanya yang mengikuti jamuan. Namun, tak sedikit yang membela, siapapun orangnya, adalah hak kita sebagai pembeli / konsumen untuk mengecek ulang apapun yang ditagihkan ke kita sebelum kita melakukan pembayaran.

Saya baru mengalaminya beberapa hari yang lalu. Ceritanya saya dan Ziqri mengunjungi salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Batam, katakanlah mall X. Kami tiba sekitar pukul 13.30 WIB, berarti selepas waktu makan siang, di hari kerja. Waktu gencar-gencarnya aneka restoran / cafe / rumah makan menggelar promo happy hour dengan pilihan paket hemat yang beraneka macam.

Saya sebenarnya sudah makan siang dengan menu 'nasi padang' lengkap super endeus (serius, sayur gori dan cumi saus karya kakak ipar saya juara banget). Ziqri juga sudah makan, tapi dasarnya hobi ngemil, baru menginjakkan kaki di mall, sudah merengek ingin jajan (yang berat maksudnya sambil duduk ngaso).

Awalnya saya bingung, ke resto cepat saji, pasti Ia minta minuman bersoda atau ice cream, padahal Ziqri sudah 2-3 hari agak batuk. Saya tawarkan bakso, menu favorit Ziqri yang meniru omamanya, bocahnya setuju.

Ingat punya ingat, saya membawa Ziqri menuju lantai teratas, tempat resto bakso cabang Jakarta yang juga salah satu tempat pacaran favorit Opa dan Omanya Ziqri.

Setibanya di lokasi, ternyata di sebelahnya ada salah satu cabang resto lokal Batam (sekarang sudah meluaskan cabang ke kota lain juga). Nah, resto ini adalah favorit saya semasa magang, karena selain menu normal dengan range harga yang masih terjangkau untuk ukuran mall, dulu ada menu promo yang seporsi hanya Rp 5.000,-. Eh, ternyata sampai sekarang masih ada, dan di X banner yang terpajang, harganya hanya naik sedikit saja.

Akhirnya saya memilih makan di sini. Bukan hanya karena alasan harganya, soalnya menu tersebut porsinya pas dengan Ziqri. Semangkuk bakso hanya terdiri atas 5-6 butir bakso ditambah mie dan bihun. Saya sangat menjunjung tinggi nasihat nenek saya untuk selalu menghabiskan makanan, jadi sebisa mungkin saya memesan (atau mengambil makanan apapun) sesuai kapasitas perut agar tidak mubazir. Prinsip ini juga sedang saya tanamkan betul pada Ziqri.

Ketika saya panggil untuk memesan, pramusaji datang agak terlambat karena meski resto tidak ramai, posisi meja kami yang berada di barisan terdepan arah keluar ruangan. Sedangkan mereka berdiri berjejer 5-7 orang di depan kasir, dan posisinya agak diagonal dengan saya, meski jaraknya tidak sampai 3 meter.

Saya pesanlah menu semangkuk bakso harga promo tadi dan segelas teh. Harganya juga termasuk dalam daftar tersebut.

Singkat cerita, setelah Ziqri selesai makan, saya memanggil seorang pramusaji dengan maksud meminta bill. Saya hafal, di resto ini sistemnya memang begitu. Bill akan diantarkan pramusaji, kita cukup bayar di meja sendiri.

Kali ini, saya pastikan dulu panggilan saya benar-benar terlihat. Meskipun begitu, ada jeda cukup lama. Dari tempat duduk, saya bisa melihat mereka saling dorong-mendorong. Pada akhirnya, datanglah seorang pramusaji perempuan, berbeda dengan yang mengantarkan pesanan saya sebelumnya karena telah pergantian shift kerja. Dari pakaiannya, saya tahu ia adalah pegawai baru, karena belum berseragam dan hanya memakai atasan kemeja putih dan bawahan hitam. Mungkin karena yang paling junior, makanya tadi Ia yang diminta melayani saya oleh teman yang lain.

Normalnya, begitu tahu pelanggan meminta bill, maka pramusaji akan datang sambil langsung membawa billnya. Sayangnya tidak begitu, setelah saya ulangi bahwa saya mau membayar, Ia kembali ke meja kasir lalu kembali ke meja saya dengan bill yang berada di dalam sampul bill biasa (bingung ngejelasinnya, pokonya seperti yang biasanya ada di resto pizza terkenal itu).

Amplopnya tidak diletakan di meja atau diserahkan ke saya. Pramusaji yang membukakan amplop, sambil berdiri tepat disamping saya. Posisinya meski amplop dibuka, seluruh tulisan bagian atas tertutup oleh lipatan disebelahnya sehingga hanya total tagihan yang terlihat. Tertera Rp 287.500,- dan dengan lugas Ia menyebutkan angkanya. Saya jelas kaget, dan berseru "Masak sih, mbak? Yang bener aja!".

Saya berusaha menarik kertas bill/ struk tersebut --yang setelah saya hanya sempat lirik sekilas, pendek saja--. Tidak terera banyak menu, paling hanya satu atau dua baris. Kemudian dengan gugup Ia melirik satu mangkok bakso anak saya dan satu gelas kosong bekas tehnya, dan berujar "Oh, maaf, saya salah nomor meja, Ini tagihan meja sebelah" dan buru-buru mengambil lagi kemudian membawa tagihan tersebut menuju meja sebelah saya yang saat itu ada empat orang yang sedang makan.

Keempat orang tersebut menunjukkan wajah kaget. Karena (sepertinya) mereka belum meminta bill. Sebenarnya saya ingin mengklarifikasi lebih lanjut, tetapi di saat yang bersamaan, ponsel saya berdering, ibu saya menelefon. Eh, Ziqri minta sekalian minta dibetulkan sepatunya yang sudah dipakainya sendiri. Jadilah perhatian saya teralihkan sepenuhnya.

Tak lama, pramusaji tadi kembali lagi ke meja saya dengan membawa bill yang benar sambil meminta maaf. Tagihan saya (sudah termasuk PPN 10%) jumlahnya bahkan lebih murah daripada semangkuk bakso di kaki lima.

Saya sih sebenarnya fine-fine saja karena memang nyadar, tagihan totalnya terlalu kentara dan jomplang banget dengan apa yang saya pesan. Namun, bagaimana dengan keluarga di meja sebelah yang saya sebenarnya tidak yakin itu adalah benar tagihan mereka?

Entah mereka mau membayar atau tidak tapi logikanya, dilihat dari jumlah piring-gelas di meja mereka, item yang dipesan lebih banyak dari di list tersebut.

Apakah ini murni kesalahan waitress yang masih baru atau ada unsur kesengajaan, hanya Allah yang tahu.

Dua kejadian diatas memang kebetulan sama-sama terjadi di Batam. Tidak menutup kemungkinan terjadi di daerah lain manapun juga.

Nih, saya beri contoh lain berdasarkan kejadian yang nyata pernah terjadi pada orang-orang terdekat saya :
- Berbelanja di toko serba ada / super atau minimarket, cek lagi begitu bill kita terima, apakah ada barang yang terentry dua kali atau ada barang yang bukan belanjaan kita turut tercharge akibat oknum kasir nakal. Teman baik saya pernah mengalami sendiri hal serupa.
- Tagihan air / PDAM di rumah adik ipar (di Batam) pernah menyentuh angka jutaan rupiah. Diteliti di struk, total pemakaian air ribuan kubik perbulan. Setelah dipanggil tukang, baru ketahuan ada kebocoran pipa air di dalam tanah yang murni bukan kesalahan adik.
- Tagihan listrik rumah malah membengkak meski dalam keadaan kosong akibat ditinggal mudik dalam waktu nyaris sebulan? Bisa jadi ada alat elektronik di rumah yang konslet sehingga menyerap daya lebih banyak. Ini pengalaman di rumah orang tua saya di Tanjung Balai Karimun, ternyata ada AC yang konslet meski ketika di cek tetap berfungsi dengan baik.
- Tagihan telepon / ponsel pasca bayar membengkak? Minta printout dan selidiki apakah ada nomor yang tidak dikenali? Bisa jadi telepon / ponsel kita pernah digunakan secara diam-diam oleh anggota keluarga / ART / teman dekat sendiri.
- Tagihan obat / rumah sakit. Saya pernah di opname dengan kelebihan biaya jumlah botol infus yang ditagihkan. Dulu, saya tidak menggunakan askes dan bayar sendiri. Alhamdulliah -entah bagaimana, saya sudah lupa-, pihak rumah sakit bersedia menganulir bill dengan skenario kelebihan botol infus tersebut "dibeli" kembali oleh mereka.

Dan masih banyak struk / bill / resi / bukti tagihan-tagihan lainnya yang bisa kita cermati. Tak sekedar selisih nominalnya --yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain-- secara kemanfaatan ini adalah hak kita sebagai konsumen dan bentuk tanggung jawab kita kepada diri sendiri.

Saya jadi ingat, ketika ditanyai apa sisi positif dari Bossman di My Stupid Boss, Kerani a.k.a si penulis tanpa ragu menyebutkan bahwa Ia sangat terkesan dengan ketelitan si Bossman dalam mengecek tagihan. Bagaimana pun aneh bin ajaibnya tingkahnya, Bossman adalah seorang pebisnis sukses. Bisa jadi sikap ini adalah rahasianya.

Yah, asal ga sampai disuruh ngitungin mur satu per satu terus dicocokin sama tagihan dari supplier kayak si Kerani, kenapa enggak, kan?