Dilan 1990, Dijamin Lebih Baper Kalau Nonton Bareng Ibumu.


Hai Assalamu'alaikum

Demam Dilan Melanda!


Bahkan, seorang siswi menjawab mantap pertanyaan saya di kelas "who is your idol?" dengan namanya.

Saya, antara mau ngakak atau meringis, secara ya.. Doski kan tokoh fiktif belaka dekkkkk eh, nakkkk..

Anyway, dua tahun lalu, saat mereview novel Dilan, saya pernah bilang, bahwa saya penasaran ingin menyaksikan versi visualnya. Saya merasa yakin materinya "film-able" (apasih bahasanya ne?). Penokohan kuat, jalan cerita oke (yang bilang ceritanya minim konflik, coba diinget lagi mas / mbak, emangnya pas SMA hidup lo seruwet apa? Soalnya, bagi saya yang ini sudah pas), penuh dengan quotes cinta a la anak SMA dan setting yang spesifik, Bandung tahun 1990 - 1991. Yang --mengutip statement saya sendiri waktu itu-- : menantang para sinematografer Indonesia untuk mewujudkannya.


Seperti biasa, keinginan menonton sesegera mungkin terhalang dengan kenyataan bahwa saya harus menyeberang dahulu ke Pulau Batam. Hari Sabtu di minggu penayangan pertama, saya memang ke Batam tetapi karena pelatihan coding yang saya ikuti sampai petang (iya, saya ikutan coding weekend gitu, cerita selanjutnya nanti yaaa), saya belum berhasil menyaksikannya. 

Pucuk dicinta ulam pun tiba, kedua orang tua saya datang dari Tanjung Balai Karimun. Tujuannya ialah untuk mengantarkan adik saya yang akan menyeberang ke Papua melalui bandara Hang Nadim, Batam. Sengaja saya memilihkan hotel yang berdekatan dengan Harbour Bay Mall, lokasi tempat bioskop andalan saya berada. Saya memang lebih senang menonton di Blizt (CGV) Harbour Bay Mall ini karena beberapa alasan, diantaranya bioskop yang terbilang nyaman dan lebih sepi. Jadi, seandainya saya menonton dengan Ziqri, dan dia rewel, maka tidak akan mengganggu terlalu banyak penonton lain. 

Setelah check in di hotel, kami sempat makan siang di sebuah kedai sate yang lagi hitz di kota Batam. Lumayan ngantri dan jalanan yang ramai, membuat kami kembali ke hotel selepas pukul 14.00 WIB. Saya menawarkan ibu saya, kapan sebaiknya kami --Saya, ibu dan Ziqri-- menontonnya, langsung di saat itu juga karena ada penayangan pukul 14.35 atau yang selanjutnya saja.

Ibu saya dengan bersemangat, mengajak langsung saja. Memang, saat mudanya, ayah dan ibu saya senang nonton ke bioskop. Kami anak-anaknya cukup sering mendengarkan kisah mereka nonton aneka film Lawas mulai dari Cut Nyak Dien hingga film horrornya Suzanna di bioskop legendaris ibukota, misalnya Megaria di tahun '70an hingga 80'an.

Setelah menikah dan pindah ke Pekanbaru, kebiasaan nonton tidak bisa dilanjutkan, karena di era '90an, meski ada dua bioskop besar, film yang ditayangkan tidak sesuai zaman. Terlebih lagi saat tahun 90'an perfilman Indonesia sedang mengalami masa 'mati suri'. Menonton bioskop adalah hal 'mewah'. Seperti yang pernah saya ceritakan, salah satu kenangan yang memorable ialah saat ayah dan ibu mengajak menonton Jurrasic Park. Selebihnya kami cukup sering menonton bersama melalui VCD. 

Beranjak dewasa, gantian, saya yang mengajak Ibu nonton. Tidak terlalu sering, karena saya sudah ngekos sejak masih SMA. Tetapi, saat ibu mengunjungi saya ke Semarang atau kami sedang pergi ke daerah yang ada bioskopnya, kami biasanya nonton bareng. Pengalaman menonton bersama Ibu selalu berkesan. Dari sekian banyak film yang saya tonton, seringnya saya selalu lupa jalan ceritanya setelah sekian lama. Namun tidak begitu, bila saya pergi nontonnya dengan ibu. Saya masih ingat detail jalan cerita film I'm Number Four yang kami saksikan di Singapura atau My Name Is Khan, yang meski durasinya panjang, ibu saya suka sekali. 

Terakhir kali saya nonton dengan ibu ialah ketika saya hamil Ziqri. Hampir empat tahun lalu. Filmnya? The Amazing Spider Man-2. Ibu saya nangis tersedu-sedu saat Gwen meninggal di ending cerita.  Saya pun menjadi terpengaruh hormon kehamilan, ikutan jadi mellow. Padahal  biasanya saya jarang terharu kalau nonton. Gawatnya, saat itu tidak ada di antara kami berdua yang membawa tisu. Keluar ruangan, wajah kami penuh air mata. Terus, banyak pasangan muda-mudi yang melirik aneh, soalnya --sebenarnya-- filmnya ya ga sesedih itu bagi mereka.

Nah, saya sudah membayangkan keseruan nonton Dilan bareng ibu. Settingnya di tahun '90an membawa ibu kembali bernostalgia, dengan telefon rumah atau telefon koin, papan tulis hitam lengkap dengan kapurnya, kendaraan keluaran jaman dulu, hingga gaya bahasanya yang pas banget dengan gaya bahasa kami.

Terlambat beberapa menit dari adegan pembuka tidak membuat kami kehilangan fokus. Apalagi langsung disuguhi adegan Dilan dengan geng motornya. Ziqri saja langsung terpesona! Secara pengambilan gambar keren! Dengan cerdas, pengambilan sudut kota Bandung diakali hanya menyoroti daerah yang masih memiliki nuansa klasik alias jadul.

Ada scene dengan green screen yang terlihat editan CGInya dan ada beberapa scene yang agak bikin pusing karena goyangan kamera, tetapi rasanya pasti tertutupi dengan kelebihan lainnya dari film ini. Bagi saya yang sudah membaca kisah Milea - Dilan hingga khatam di buku, film ini benar-benar setia dengan cerita aslinya. Mengambil sudut pandang Milea yang menjadi narator cerita. Hingga ke dialog puitis penuh gombalan yang disuarakan Dilan kepada Milea.

Sepanjang cerita, ibu saya tersenyum-senyum sendiri meskipun sambil sibuk mengawasi Ziqri yang mendadak pecicilan. Ziqri yang biasanya anteng nonton di bioskop, kali ini sibuk merengek minta membeli mainan. Maunya pindah ke kursi belakang yang memang lebih nyaman itu. 

Saya?

Lagi 'sibuk' dengan nostalgia saya sendiri.  Hoahahahaa

Mengenang masa SMA saya yang sangat menyenangkan. Termasuk di dalamnya kenangan naik motor keliling kota Pekanbaru bersama high school sweetheart yang juga selalu memakai jaket jeans serupa Dilan. Dulu, rasanya saya sudah bandel sekali, karena kakek saya mengamanatkan saya tidak boleh naik kendaraan roda dua itu. (eh, ternyata masih dilanggar sampai sekarang, soalnya di Belakangpadang kendaraan roda empat milik pribadi dilarang.)



Dilan yang diperankan Iqbaal dan Milea yang diperankan Vanesha Prescilla, membuat saya teringat kembali rasanya cinta masa SMA. Serba malu-malu tetapi dengan tatapan mata yang sangat dalam dan menyuarakan sejuta makna. Sekedar makan bareng di kantin sekolah atau berpapasan di koridor saja rasanya sudah membuat meleleh.

Hampir semua adegan penting (plus kata-katanya) di buku ada.. Wajarlah karena Pidi Baiq sang penulis turut berandil besar sebagai co-director.


Ohya, saya termasuk salah satu orang yang awalnya yang sempat meragukan Iqbaal memerankan Dilan. Menurut saya imagenya terlalu cute, kurang gahar atau selengekan. Saya takut Dilan menjadi kurang greget. Ternyata, saya harus mengakui dugaan saya meleset, Iqbaal bermain apik di film ini. Lirikan mata, senyuman separuh wajah, dan tampilan a la badboy yang mengena di hati.

Chemistry dengan Vanesha terjalin kuat. Sebagai OTP (one true pairing), keduanya dapat menampilkan bahwa Beni --mantan pacar-- dan para fans Milea yang lain, yaitu Nandan --teman sekelas Milea yang jago basket-- dan Kang Adi --anak ITB yang jadi guru les Milea-- plus Susi yang naksir Dilan itu bukan siapa-siapa.

Pemeran pendukung juga menunjukkan kualitas akting yang lumayan. Meski sebagian besar adalah pendatang baru dan dari segi cerita porsinya sedikit. Contohnya peran para guru sekolah, kesungguhan mereka saat melerai Dilan saat berkelahi terlihat natural. Bonus cameo sang walikota Bandung yang ternyata aktingnya boleh juga.

Overall, saya yakin, sebagian besar para wanita yang nonton jadi baper sampai klepek-klepek. Bagi penonton pria, saya harap, Dilan menaikan standar mereka dalam memperjuangkan pujaan hati. Ya, ga mesti gombal-gombalan juga sih, cukup dari bentuk perhatian Dilan yang sederhana tapi manis. Jadi, pembaca cewek saya yang belum nonton, boleh banget ajak gebetan atau pacar atau suami, biar sekalian jadi kode keras Hoahahaha

Atau, kalau mau lebih baper lagi, seperti saya, nontonlah dengan ibu masing-masing. Buat yang kelahiran '80an hingga 2000'an. maka ibunya kemungkinan pernah mengalami masa seperti Dilan-Milea. Ditambah dengan pemeran orang tua Dilan dan Milea yang cukup familier. Meluskiskan hubungan yang sama-sama akrab dengan anak-anak mereka. Dijamin, hati kalian akan lebih hangat, saat menyaksikan ibu yang duduk disebelah, tersenyum dan tertawa-tawa seiring kisah cinta manis ini. 

Buat ibu saya, sehat selalu ya bu.. Seperti kata penutup filmnya, "Sampai bertemu di Dilan, 1991", Insya Allah nanti kita nonton bareng lagi yaaa,,

Baca juga : Dilan, Bagian Kedua, Dia adalah Dilanku tahun 1991

Psstt.. buat yang penasaran sama kelanjutannya.. please mending jangan baca buku kedua hoahaha.. Ntar nyesek kayak saya..