Sepotong Cin(t)a Dalam Kue Keranjang

A post shared by Annisa Rizki Sakih (@annisakih) on

My Tiger Mom and My Tiger Baby

www.annisakih.com Engkong ibu saya alias buyut saya menginjakkan kakinya di bumi nusantara lebih dari seabad yang lalu. Bersama seorang abangnya, mereka merantau dari dataran Cina dengan membawa budaya dan tradisi termasuk agama yang mereka anut. Sejatinya engkong saya dan istrinya alias Oma saya -dari pihak ibu- mengikuti kepercayaan tersebut. Tetapi pada saat kepercayaan tersebut dilarang di zaman orde baru, Oma menganut Budha, begitu pun Engkong dan kedua kakak perempuan Ibu saya. Kecuali Ibu saya, beliau sendiri mendapat hidayah di usia enam tahun dan langsung memilih masuk Islam. Jadi dalam ingatan samar-samar masa kecilnya, ibu pernah mengalami tradisi Sincia alias Imlek. Mulai dari memasang hio hingga menikmati hidangan khas Imlek

Keluarga besar Engkong dan Oma saya yang lain memilih memeluk agama yang berbeda-beda sesuai keyakinannya. Sehingga, sejak kecil, saya terbiasa merasakan perbedaan, namun tetap tidak mengubah esensi kekeluargaan. Tetap kompak dan harmonis, misalnya Engkong saya sangat mendukung Ibu saya belajar mengaji dan mengantarkan Ibu saya untuk menunaikan Shalat Subuh di Mesjid.

Hingga Ibu dewasa dan menikah dengan ayah saya, Ibu saya menggunakan wali hakim. Alhamdulillah, menjelang ajalnya, Engkong saya mendapatkan hidayah dan menjadi mualaf serta mengambil nama Abdul Syukur. Kedua kakak perempuan ibu saya alias uwak saya mengikuti jejak mengucapkan syahadat. Semuanya terjadi secara natural, tanpa paksaan dan membuat ibu saya dan kami semua sangat bahagia.

Namun Oma tetap teguh pada pendiriannya. Meski kami berupaya membujuknya, Beliau tetap teguh pada imannya. Akhirnya kami memegang "لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ" (Q.S Al Kafirun ayat 6). Sebagai penganut Budha yang taat, beliau sudah menjadi seorang vegetarian sejak muda, demi mengamalkan salah satu ajaran yang tidak mengizinkan mengambil nyawa termasuk hewan untuk di konsumsi. Sejak keluarga kami pindah ke Pekanbaru, Oma mengikuti kami, beliau tidak terlalu rutin ke Vihara tetapi ada kalanya beliau tetap minta diantarkan.

Saat Imlek tiba, beberapa tetangga berdarah Tionghoa yang juga merayakannya dan mengetahui latar belakang Oma, mengantarkan ke rumah kami aneka penganan Imlek. Yang paling saya ingat adalah buah jeruk, manisan dan kue keranjang.

Berhubung Oma juga mengidap diabetes, agar kue keranjangnya tidak mubazir, biasanya kue tersebut disajikan untuk dikudap kami sekeluarga. Biasanya ibu saya akan mencelupkannya ke dalam kocokan telur ayam dan digoreng dalam minyak sedang. Rasanya semakin enak, legit dan lumer di mulut.

Ih, Kue keranjang kan (katanya) ga halal?

hmmm, maybe.
Berdasarkan bahan-bahannya tidak ada yang masuk kategori haram. Dan lagi waktu itu kue keranjang yang kami makan adalah homemade dari keluarga yang we knew for sure never eat something non-halal, because they simply didn't like it.

Di masa tahun 90an, perayaan Imlek tidak semeriah sekarang. Peraturan pemerintah membuat warga keturunan harus merayakannya secara "rahasia". Di awali dari keharusan memilih 5 agama lain yang diakui saat itu, harus memilih melepaskan segala nama yang berbau Tionghoa jika hendak tinggal di kota kecamatan atau kabupaten (saya agak ragu karena hanya mendengar kisahnya secara sepotong-sepotong dari Oma), hingga berlanjut dengan sentimen yang kerap dialami. 

Ingatkah akan kerusuhan di Jakarta atau Solo sekitar tahun 98an? Sesungguhnya itu adalah puncak dari gunung es. jauh dari sebelum itu, keluarga saya dan (kemungkinan besar) keluarga keturunan Tionghoa lainnya berusaha 'menyembunyikan' identitas diri.

Ya Alhamdulillah dengan Ibu saya yang secara fisik tidak terlalu kentara, tapi kedua orang kakak perempuan ibu kadangkala dihinggapi rasa was-was saat harus berjalan sendirian dan diganggu orang-orang dengan dipanggil "cece" atau "Nci (tante)". Demi keamanan, kadang mereka mengaku simply adalah orang Palembang. Sesuatu yang saya sesali karena tidak ikut melestarikan bahasa leluhur, padahal hal tersebut sangat bermanfaat di era Alibaba dan RRC menguasai pasar dunia saat ini.

Sewaktu saya lahir, keluarga ibu saya sangat bersuka cita karena dua hal : mata saya saya belok (tidak sipit) dan ada lipatan kelopak mata (eyelids)nya.  Saya, yang diceritakan pun belum paham esensi pentingnya dimana. Barulah, sewaktu Sekolah Dasar (SD), saya tidak berani seterbuka ini mengakui asal-usul saya. Penyebabnya ialah seorang juara kelas selalu dikait-kaitkan kepintarannya dengan ayahnya yang juga keturunan Tionghoa. Sebenarnya, saya secara lugu memandang "Memangnya apa yang salah dengan itu?"

Secara fair, pastilah kita sama-sama tahu, bahwa etos kerja (dan untuk anak-anak ialah belajar) yang diterapkan keluarga berdarah Tionghoa memang dua kali atau bahkan lebih dari yang lainnya. Negara-negara barat pun telah mengakuinya. Pernah dengar metode 'Tiger Mom" atau "Asian F" bukan? Buat kebanyakan orangtua "Tiger Mom", nilai selain A adalah setara dengan F, karena para ibu dengan disiplin mendidik anak-anak mereka untuk menjadi yang terbaik. Metodenya macam-macam, mulai dari jadwal belajar yang ketat hingga diikutkan berbagai les. Tujuannya tidak hanya agar nilai di sekolah bagus, namun lebih dari itu, yaitu agar anaknya memiliki etos belajar --dan pada akhirnya bekerja-- yang bagus pula.

Contohnya anak perempuan dari tetangga saya tadi. Meski masih sama-sama SD, sepulang sekolah, Ia harus langsung menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Lalu istirahat sebentar dan dilanjutkan dengan les mata pelajaran. Pulang ke rumah nyaris malam, makan, istirahat lalu tidur sejenak untuk kembali bangun pada tengah malam. Iya, harinya belum berakhir, karena Ia harus mulai mempelajari pelajaran untuk esok harinya, supaya ketika guru menerangkan di kelas Ia sudah paham. Hasilnya memang amazing, ia selalu duduk di peringkat dua besar sekolah swasta paling prestisius di Pekanbaru. Selanjutnya ia melanjutkan sekolah menengah pertama di Singapura.

Makanya, sepanjang sekolah dan kuliah, saya selalu mengaku tidak pernah belajar kepada teman-teman. Karena apa yang saya lakukan yaitu sistem kebut semalam tidaklah sama dengan metode belajar yang sesungguhnya juga dilakukan oleh ibu saya sendiri. Belajar itu ialah metode yang berkesinambungan dan tanpa henti, bukan hanya mengharapkan hasil jangka pendek belaka.

Didikan "keras" dari orang tua inilah bentuk cinta mereka. Anak-anak terlebih dahulu ditempa oleh orang tua sebelum menghadapi dunia luar yang keras juga. No offense, beberapa keluarga ibu saya yang menjalankan bisnis, seringkali didatangi preman untuk dipalak (dimintai uang dengan alasan tidak jelas). Padahal, di lingkungan, mereka terkenal sebagai orang yang dermawan, suka menolong dan menyumbang untuk aneka kegiatan dengan nominal tak sedikit.

Ah, saya jadi bernostalgia sambil memandangi kue keranjang yang belum diolah. Memang, sejak menikah dan tinggal di Belakangpadang, setiap tahunnya saya kembali mendapatkan kiriman kue keranjang, dari saudagar tempat bibinya suami bekerja. Di pulau ini memang suasana kekerabatannya sangat terasa, tanpa memandang perbedaan, semuanya berbaur dengan baik. Semoga di kota-kota lain di seluruh Indonesia tetap menjunjung tinggi toleransi ini. Karena pada dasarnya, setiap manusia dilahirkan fitrah, tidak ada yang bisa memilih dilahirkan dari keluarga dengan garis keturunan apa. Setiap warga keturunan Tionghoa yang tinggal di Indonesia, dulu --ataupun para leluhurnya-- sejatinya telah benar-benar memilih menjadi Bangsa Indonesia.