UNBK dan Realita di Daerah Hinterland

Hai, Assalamu'alaikum
Pelaksanaan UNBK di daerah hinterland 2017

Pelaksanaan UNBK di daerah Hinterland 

Sebelumnya saya disclaimer dulu ya.. Tulisan ini saya buat sebagai opini pribadi, tidak mewakili golongan manapun maupun institusi tempat saya mengajar saat ini.
❤❤❤❤❤

Alhamdulillah, setelah lulus sekolah, baru kali ini saya merasakan kelegaan serupa tak kala anak-anak setingkat SMA/MA selesai melaksanakan Ujian Nasional (UN). Dulu, saya mengenalnya dengan nama Ujian Akhir Nasional (UAN) dan selama beberapa tahun menjadi pro dan kontra. Apakah ujian yang hanya berlangsung satu kali per mata pelajaran benar-benar layak untuk dapat dijadikan patokan hasil belajar siswa selama 3 tahun di tingkat sekolah tersebut?

Golongan yang kontra antara lain ialah para pendidik yang memandang bahwa pendidikan ialah proses berkesinambungan yang tidak hanya dilihat dari nilai semata. Melainkan proses holistik yang meliputi banyak aspek, mulai dari proses belajarnya itu sendiri. 

Bagaimana seandainya di hari "H" pelaksanaan Ujian Nasional si anak sedang tidak fit? Atau anak yang tipenya gampang gugup, pada saat sekolah ia sangat aktif dan pandai, namun begitu menghadapi lembaran kertas ujian, buyar sudah segala yang sudah dihapalkannya.

Faktor penambah deg-degan lainnya ialah Lembar Jawaban Ujian (LJU) yang harus diisi dengan penuh kehati-hatian, tidak boleh terlipat, basah atau kotor karena dikhawatirkan tidak terbaca pada mesin scanner. Agak merepotkan untuk saya yang tangannnya selalu berkeringat dan sering grasuk-grasuk. 

Belum lagi, anak tersebut telah terbebani dengan ketentuan bahwa nilai yang dinyatakan lulus minimal tertentu pada masing-masing mata pelajaran. Misalnya pada angkatan saya, standar kelulusan UN ialah angka 5 (lima koma nol)  dan nilai tersebut makin naik 0,25 setiap tahunnya.

Saat ini ketentuan tersebut memang sudah dihapuskan dan tidak hanya hanya berdasarkan nilai ujian nasional, kelulusan ditentukan oleh pihak sekolah dengan memperhatikan rapor semester dari kelas X hingga semeter ganjil kelas XII.

Tapi, yang namanya hidup, selalu ada tantangan baru, dan tantangan tersebut bernama Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). Mekanismenya ialah bila selama ini anak-anak mengerjakan soal Ujian Nasional diatas kertas LJU, maka, saat ini anak-anak akan dengan mudahnya tinggal mengisikan jawaban mereka di kolom yang disediakan di komputer.

Mata pelajaran yang diujikan untuk jenjang SMA / MA ialah bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika dan satu mata pelajaran sesuai peminatan yang diambil siswa, misalnya untuk bidang minat IPS, pilihannya ialah Ekonomi, Geografi atau Sosiologi.

Untuk tahun 2018, secara nasional, jumlah peserta UNBK jenjang SMK sebanyak 1,4 juta siswa di 12.498 unit sekolah. Sedangkan di jenjang SMA dan MA jumlah peserta UNBK sebanyak 1,7 juta siswa di 18.348 unit sekolah. Masih di tambah untuk jenjang SMP sebanyak 2,6 juta jiwa di 28.622 sekolah (1) Untuk Madrasah Aliyah (MA) ada Ujian Akhir Madrasah Berbasis Komputer (UAMBK) yang pelaksanaannya dilakukan dua minggu sebelumnya.

Sekarang mari kita bahas satu persatu plus dan minusnya secara umum maupun secara spesifik di daerah hiterland :

Plusnya :

1. UNBK diharapkan dapat meminimalisir kecurangan

Selama ini banyak indikasi kecurangan dalam ujian nasional, mulai dari soal yang bocor, hingga guru yang diam-diam membantu siswa dalam mengerjakan soal. Selain itu, meskipun soal telah dibuat dengan kode soal yang berbeda-beda, anak-anak masih sering ditemui menanyakan materi yang diujikan kepada temannya.  

2. Menghemat biaya, tenaga dan waktu

Dahulu, untuk membawa soal dari Dinas Pendidikan Kota Batam, memerlukan pengawalan polisi dan menyewa kapal --pompong-- secara khusus. Setelah itu, soal harus disimpan terlebih dahulu di kantor Camat Belakangpadang. Pada pagi hari ujian, pihak sekolah harus mengirimkan utusan dan mengambil di Kantor Camat. Tentunya memerlukan biaya yang tidak sedikit dan waktu serta tenaga dari banyak orang yang terlibat.

3. Penilaiannya pun akan dilakukan secara terpusat

Sehingga hasilnya lebih terpercaya dan tidak perlu dibentuk lagi panitia penilaian Ujian Nasional di tingkat kota masing-masing

Minusnya :

1. Ternyata tidak sesimpel yang diperkirakan, dalam persiapan pelaksanaannya, kendalanya sangat banyak, diantaranya :

a. Sumber daya manusia yang dimiliki

Tidak semua sekolah memiliki satu atau dua orang guru yang memiliki pengetahuan tentang komputer yang mumpuni. Satu guru akan bertidak selaku proktor dan satu lainnya bertindak selaku teknisi. Pelatihan yang diberikan pun kadangkala tidak menjawab semua permasalahan yang dijumpai, karena sistemnya sendiri sedang dikembangkan (akan saya jelaskan lebih lanjut di bawah).

Dari segi peserta ujian, ada beberapa siswa yang belum terbiasa dengan komputer / laptop, hal ini menambah rasa grogi dan kekhawatiran mereka. Belum lagi, secara psikologis, beban bertambah saat pelaksanaan try out / uji coba ada yang masih gagal ikut serta karena berbagai alasan (proses sinkronisasi belum selesai, soal tidak keluar, dan lain-lain),

b. Sumber daya milik sekolah

Idealnya sekolah memiliki laboratorium komputer dengan jumlah komputer atau laptop yang sama dengan jumlah siswa. Namun kenyataannya hal ini cukup sulit dipenuhi, karena selama ini dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) tidak mencakup pengadaan komputer dan berbagai sarana lain yang diperlukan untuk ujian. Katakanlah satu set komputer server dengan spesifikasi khusus yang harus dibeli beserta jaringan LAN, nilainya lebih dari sepuluh juta rupiah. Hal ini tentu menyulitkan untuk sekolah (khususnya) swasta yang memiliki kemampuan terbatas. 

Meminjam laptop milik siswa pun tidak selamanya dapat menyelesaikan masalah, karena banyak laptop tidak sesuai dengan spek yang dibutuhkan agar program ujian (ExamBro) dapat berjalan dengan lancar.

Di Belakangpadang sendiri, ada satu sekolah negeri yang akhirnya menumpang di sekolah negeri lainnya. Sementara, ada satu sekolah negeri yang terpaksa tahun ini belum mengikuti UNBK karena terkendala masalah pengadaan komputer ini.

c. Kendala teknis lain

Seperti yang kita ketahui bersama, daerah hinterland masih mengalami keterbatasan infrastruktur. Misalnya sinyal provider telepon selular yang sering hilang timbul maupun listrik yang sering mati. Tidak semua sekolah sanggup memasang sambungan internet berbasis nomor telepon dan menyediakan genset listrik untuk mengantisipasi. 

2. Kendala dalam sinkronisasi

Proses sinkronisasi ialah proses dimana masing-masing sekolah penyelenggara UNBK melakukan pengunduhan soal-soal dari server pusat ke server milik sekolah. Prosesnya lumayan ribet, karenanya tidak jarang, beberapa sekolah ada yang proktor dan teknisinya melakukan sinkronisasi hingga dini hari. 

Lucunya, hari ini sudah berhasil disinkron, eh, tahu-tahu keeseokan hari, telah diluncurkan aplikasi versi terbaru #tepokjidat. Artinya, kita harus mengulang proses instalasi dan sekaligus sinkronisasi. Aplikasi yang masih terus berkembang ini, merupakan bentuk jawaban dari kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan try out / uji coba sebelumnya.

3. Kendala saat pelaksanaan

Sekolah yang muridnya banyak atau tidak sesuai dengan jumlah komputer / laptop yang dimiliki sekolah, akan membagi siswanya dalam beberapa sesi. Antara satu sesi dengan lainnya ada jeda waktu istirahat. Anak-anak berpeluang untuk berdiskusi dengan teman-temannya mengenai soal yang keluar. 

Skenario terburuk, seandainya ada pemadaman listrik atau sinyal provider mati, anak-anak yang berada di sesi selanjutnya akan semakin diundur pelaksannaanya. Alhamdulillah, PLN Belakangpadang pro-aktif dalam meninjau ke sekolah-sekolah selama berlangsungnya ujian. Bahkan listrik di sekolah di loss-kan tanpa biaya apapun. Untuk sinyal, Alhamdulillah lagi, cuaca bersahabat dan kami mengantisipasi dengan menyediakan aneka nomor provider berkuota banyak.

Nah, ini masih di Belakangpadang yang nota bene hanya lima belas menit perjalanan laut dari pulau Batam. Bagaimana dengan di pulau-pulau lain yang lebih terpencil? Harapan saya pemerintah dan Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) Kementrian Pendidikan dan kebudayaan dapat mengkaji ulang kebijakan yang berlaku. Saya cukup senang membaca pernyataan dari ketua Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) di Koran Batam Pos, tanggal 9 April 2018, yang mengusulkan agar dana BOS di perbolehkan untuk menyediakan server dan komputer di masing-masing sekolah. Dan semoga banyak pihak lain yang tergerak untuk membantu pelaksanaan secara mandiri, misalnya melalui program Corporate Social Responsibility (CSR). Dari pihak sekolah pun, anak-anak perlu mendapat pelajaran TIK (teknologi dan informasi) agar tidak gagap komputer. Ammin YRa