Throwback: Wisata ke Masjid Pulau Penyengat


Mesjid raya Pulau penyengat
Mesjid Pulau Penyengat
Nama resminya Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat

Annisakih.com Perjalanan saya dan seorang adik sepupu, Andika, ke Masjid Raya Pulau Penyengat berlangsung empat hingga lima tahun yang lalu. Saya agak lupa kapan persisnya, namun yang jelas saya sangat terkesan dengan perjalanan saya ke sana. Setelah melihat koleksi foto-foto ketika berkunjung, saya tergerak ingin menuliskan sambil mengenang kembali kisah perjalanan saya. Memang betul ungkapan yang menyatakan belum sah tiba di Tanjung Pinang bila belum menyeberang ke Pulau Penyengat dan mengunjungi dan shalat di masjidnya.

Mesjid Raya Pulau Penyengat

Saya dan adik tiba di Tanjung Pinang dengan menaiki kapal ferry Miko Natalia rute Tanjung Balai Karimun – Tanjung Pinang. Jadwal kapal dengan trayek langsung  dari Tanjung-Balai Karimun – Tanjung Pinang (singgah di Batam) biasanya pada pukul 13.30 siang. Perjalanan memakan waktu sekitar 3 jam, sehingga begitu kami tiba hari sudah mulai petang. Sesungguhnya dari atas kapal, bila kita menengok kearah seberang dari pelabuhan internasional Sri Bintanpura, maka kita dapat melihat Pulau Penyengat. Siluet bangunan mesjid terlihat megah dari kejauhan. Setelah berlabuh di pulau Bintan, kami pun bergegas menuju salah satu hotel yang terletak tak jauh dari pelabuhan.

Narsis di dalam pompong menuju Mesjid Pulau Penyengat

Keesokkan harinya saya dan adik berjalan kaki menuju ke arah pelabuhan Sri Bintan Pura. Namun yang kami tuju ialah pelabuhan rakyat yang arahnya dapat ditanyakan kepada penduduk lokal. Ada penunjuk arahnya juga, intinya berupa sebuah gang yang terletak di bagian belakang daerah pertokoan yang berbatasan dengan laut. Kemudian kami menunggu sebentar, hingga jumlah minimal penumpang dalam satu pompong (kapal kayu bermesin tunggal) terpenuhi (sistemnya mirip dengan angkot yang ngetem). Perjalanan berlangsung mulus tanpa guncangan ombak yang berarti dengan jarak tempuh kurang lebih lima belas menit. 

Dari pelabuhan pulau Penyengat, menara dan kubah masjid telah terlihat gagah, karena memang mesjid dibangun agak tinggi dibandingkan daerah disekitarnya. Memang bedasarkan sejarah masjid ini bagian pondasinya saja dibangun dalam tempo 7 hari 7 malam. Warnanya yang kuning dan hijau cerah merupakan warna ciri khas Melayu Kepulauan Riau dan juga merupakan warna yang identik dengan simbol kebesaran Islam.

Mesjid Raya Pulau Penyengat

Masjid hanya terletak sekitar seratus meter dari pelabuhan Pulau Penyengat. Kita cukup berjalan kaki saja, terutama bila hari sedang cerah seperti saat saya berkunjung. Sepanjang perjalanan saya dahulu, masih dapat dijumpai rumah warga yang beberapa diantaranya membuka kedai (warung) yang menjual berbagai makanan ringan dan masakan khas Melayu. Saat ini saya dengar telah dibangun penginapan bagi wisatawan religi yang berniat menginap untuk beritiqaf di Masjid.

Bedasarkan sejarah yang tertulis di bagian muka gedung, Masjid Pulau Penyengat di bangun oleh Sultan Mahmud pada tahun 1803, setelah itu direnovasi pada masa Yang dipertuan Muda Riau VI Raja Abdul Rahman tahun 1832 menjadi bangunan permanen seperti sekarang ini. Pembangunan berlangsung secara swadaya dan gotong royong. Bedasarkan cerita rakyat yang beredar, begitu bersemangatnya rakyat Pulau Penyengat akan pembangunan ini, maka selain tenaga mereka juga menyumbangkan makanan bagi para pekerja. Khususnya telur ayam, sehingga atas saran seorang arsiteknya, Raja berinisiatif memerintahkan untuk memasukkan campuran putih telur tersebut dalam campuran bahan bangunan dinding masjid. 

Andika berpose didepan tulisan nama mesjid

Mesjid Raya Pulau Penyengat
Saya suka gerbangnya terkesan gagah sekaligus bernuansa Islami dan Melayu sekali

Mesjid Raya Pulau Penyengat
Kubah mesjid dan bagian depan yang dipasangi tenda untuk menampung kelebihan jamaah
gerbang untuk masuk kedalam Mesjid
Di bagian dalam terdapat peti kaca yang berisi Mushaf Al Qur'an yang ditulis manual dengan tangan. Sengaja tidak saya foto, karena sepengetahuan saya flash kamera tidak baik untuk kelestarian benda historis. Selain itu saya malu dengan hijab, kesannya saya malah foto-foto sementara yang lain khusyuk menunaikan shalat sunnah. (As far as I could remember, I was in my period).

pemandangan dari bagian dalam menuju luar.

Di sisi kiri dan kanan mesjid terdapat bangunan tambahan yang disebut rumah Sotoh sebagai ruang pertemuan. Dahulu menjadi tempat persinggahan bagi musafir dan orang-orang yang ingin menunggu waktu shalat berjamaah.







13 kubah dan 4 menara dengan total 17 buah melambangkan total jumlah rakaat shalat fardhu sehari semalam

Pemandangan arah ke Pulau Bintan
Gerbang bagian samping mesjid
Pegangan tangga yang melengkung indah
Selain bangunan masjid masih ada beberapa bangunan bersejarah lain yang dapat kita kunjungi diseputaran masjid dan masih dapat di tempuh dengan berjalan kaki. Ciri khasnya ialah tetap dicat dengan warna kuning dan sentuhan hijau. Tapi kami tidak sempat mengunjungi seleuruhnya karena hendak bergegas kembali ke pulau Bintan karena masih ada keperluan lain.



Sebelum tengah hari kami kembali ke pulau Bintan. Menginjakkan kaki di kota Tanjung Pinang, kami makan siang di salah satu restoran yang terdapat di pasar yang letaknya searah menuju hotel. Perjalanan kami diakhiri dengan membeli oleh-oleh. Saya dan adik memborong berbagai oleh-oleh yang didominasi berbagai makanan laut. Segala macam jenis tersedia. Diantaranya, yang menjadi primadona ialah sotong dan teripang kering yang harga perkilonya bisa mencapai ratusan ribu bahkan jutaan rupiah. Tetap lebih murah dibandingkan daerah lain, sebagai perbandingan di kala itu satu kilo ikan teri kering Tanjung Pinang kualitas baik dihargai Rp 80.000,- sementara ikan teri yang sama bahkan dengan kualitas yang dibawahnya telah dihargai Rp 100.000,- / kg di Tanjung Balai Karimun. 

Yak, mari.. Silahkan dipilih! dipilih!
Yang saya pegang ini adalah teh celup khas Tanjung Pinang merknya Prendjak. 
Ohya, saya berkunjung ke Mesjid Raya Pulau Penyengat di hari kerja dan bukan dalam masa libur sekolah. Pengunjungnya relatif sepi karena masih pagi dan bukan masuk waktu shalat fardhu. Memang terlihat ada serombongan wisatawan domestik dan sepasang suami isteri dari etnis Tionghoa. Akan jarang kita jumpai pasangan kekasih datang berkunjung, yang biasanya membuat risih pengunjung tempat wisata lain akibat terlalu show off kemesraan. Karena ada cerita rakyat yang (konon) telah terbukti kebenarannya, bawa pasangan kekasih akan berpisah dan takkan jadi menikah bila datang bersamaan ke Mesjid Pulau Penyengat. Wallahualam bi Shawab. Benar atau tidaknya kisah tersebut, sebagai pengunjung minimal jagalah sopan santun, patuhi batas suci dan kenakanlah pakaian yang tertutup karena ini merupakan tempat ibadah. 

Demikianlah saya berusaha menggali kembali kenangan indah bersama adik sepupu yang kini telah melanjutkan studinya di Yogyakarta. Saya harap kelak dapat berjumpa lagi dan kami bisa berwisata bersama lagi.

I (We) Miss You, Dika!