"Belajar Menulis" Dari Afi, Acho dan Kasus Hits Lainnya

Annisakih.com Hai, agak lama vakum menulis setelah sempat mengazamkan memposting artikel baru minimal tiga kali seminggu. Ternyata setelah saya jalani, rasanya kualitas tulisan saya menurun. Penyebabnya, antara karena keterbatasan gadget, ditambah lagi dengan jaringan internet rumahan provider pelat merah di Belakangpadang (apa se-Kepulauan Riau? Karena di rumah Tanjungbalaikarimun juga kena) sempat down beberapa minggu kemarin. Sebenarnya, hal-hal "receh" tersebut seharusnya bukan menjadi penghalang ya.. Jadi setelah saya kotemplasikan dalam-dalam ternyata alasan paling kuat adalah rasa insecuritas saya sendiri.

Maksudnya gini, saya ini terbilang blogger newbie. Sebelumnya saya belum pernah mengikuti pelatihan menulis apapun. Kemampuan menulis saya juga pas-pasan. Kadang, saya ingin menghasilkan suatu tulisan yang menganalisis dengan tajam, tetapi ditengah jalan, rasanya menjadi shallow dan kurang greget. Mungkin karena saya sudah agak "rusty", kelamaan santai di rumah sehingga otak saya kurang tertantang sejak resign. Bisa jadi juga karena akhir-akhir ini saya banyak membaca kasus-kasus yang berkaitan dengan dunia kepenulisan.

Dimulai dari Afi,  awalnya, saya -yang jarang buka facebook- mengetahui status viralnya dari sebuah portal media setelah Ia diundang ke istana. Saya akui bahasanya mengalir indah untuk anak seusianya. Saya sempat membatin, "wah, anak ini berbakat dan berpotensi menjadi penulis besar." Terus ke blow up bahwa status tersebut adalah duplikasi alias memplagiat karya orang lain. Saya kaget dan tidak mengikuti kelanjutan kisahnya.

Terlepas dari kontroversi yang ada, hikmah langsung yang bisa diambil sebagai penulis sebenarnya sudah jelas. Jadilah dirimu sendiri, jujur dan banggalah dengan hasil karyamu seshallow apapun, karena sekalinya terungkap hasil plagiasi, selamanya karya kita tidak akan dipercaya lagi.

Kejujuran juga benang merah yang diambil dari tulisan Acho, seorang komika yang memposting curahan hatinya mengenai aparteman yang Ia huni. Acho bahkan memuat bukti-bukti, tetapi pihak apartemen yang tidak terima, mempidanakan Acho dengan dugaan pencemaran nama baik. Hal ini membuat netizen kompak membela Acho dengan hashtag #AchoGakSalah.

Saya sendiri belum membaca lengkap Undang-undang Perlindungan Konsumen yang menjadi landasan pembelaan netizen, tapi saya juga membela Acho. Blog memang sarana curhat paling asyik, tentunya harus bisa dipertanggungjawabkan. Tidak hanya itu, sekarang banyak brand yang memanfaatkan blog untuk sarana promosi. Feedback yang diterima juga positif. Di sisi lain, ada kalanya, kita tidak puas dengan pelayanan jasa yang kita gunakan atau mutu produk yang kita terima. Kalau saya, -yang memang kurang kerjaan- xixixi, kadang memang komplain langsung melalui email di situs resmi penyedia barang atau jasa tersebut dengan bahasa yang baik. Tapi ada juga orang lain yang atas pertimbangan tertentu memilih 'curhat' di blog. Contohnya ya Acho.

Saya sebenarnya jadi agak paranoid, batasan antara hak kita sebagai konsumen untuk komplain secara terbuka dengan mencemarkan nama baik itu bagaimana? Apakah ada aturan tegasnya? Undang-undang Informasi dan Transaksi elektronik yang baru direvisi sejauh mana lingkupnya? Karena sejujurnya saya belum tahu dan belum berusaha mencari tahu juga sih. Meskipun saya paham, hukum tetap berlaku bagi siapapun juga terlepas dari mengetahui atau tidaknya mengenai permasalahan tersebut.

Kembali ke permasalahan Acho, saya menjadi bertanya-tanya, apakah karena Acho seorang publik figur? Bagaimana dengan kasus Prita? Semoga saya bisa mengambil hikmahnya dan kejadian-kejadian serupa tidak terulang pada blogger lain di Indonesia.

Pelajaran " paling keras" tentang pencemaran nama baik ialah kasus Saracen. Dari dulu saya sudah sering wondering, kenapa sih ada satu atau sekelompok orang di media sosial yang sebegitunya membela orang atau kelompok tertentu? Apakah benar-benar memperjuangkan idealisme? Atau ada keuntungan lainnya? Ternyata disaat sindikat ini terbongkar jawabannya benar, dilandasi faktor ekonomi. Nominalnya juga tak sedikit. Membuat saya justru mempertanyakan dimana nurani dalam menulis? Haruskah demi rupiah kita rela menuliskan apa saja, bahkan hingga mengadu domba dan membahayakan kerukunan bernegara? Imbasnya juga mengenai orang-orang yang murni menulis "vokal" demi menyuarakan idelismenya, jangan-jangan jadi ikut dicurigai tidak tulus dan dilatarbelakangi sesuatu pula.

Pada akhirnya, saya tetap berkeyakinan, bahwa menulis -terutama di blog-  tetap memiliki manfaat yang lebih banyak dari mudharatnya. Selain berbagai alasan pribadi mulai dari terapi menulis dan dokumentasi, menyalurkan kreativitas dan eksistensi diri, hingga menggemukan rekening, orang lain juga bisa turut merasakan manfaatnya. Jelas bagi orang yang membutuhkan informasi yang pernah kita tuliskan. Khususnya yang mencari secara online dengan penyampaian dan bahasa yang lebih ringan dari ulasan media online namun tetap bisa dipertanggungjawabkan.

Bahkan saya berandai-andai, ada salah satu korban first travel yang 'curhat' sejak lama di blog pribadinya, kemudian menjadi viral. Apakah mungkin para calon jemaah baru akan terus menerus berdatangan dan menyetorkan uang? Terkait dengan berbagai promosi yang gencar dilakukan di media sosial, hingga mengendorse artis jadi masuk portal berita, media cetak maupun televisi. Saya baca di sebuah artikel, mereka jelas mengatur siapa saja yang berhak berkomentar. Menurut keterangan jamaah, komentar yang bernada protes atau mempertanyakan kejelasan keberangkatan segera dihapus admin yang masih orang dalam sendiri. Tentu hal ini berbeda dengan blog pribadi, dimana siapapun boleh berkomentar, dan hanya di moderasi oleh pemilik blog.

Wallahualam bi Shawab