Waspada Parental Burnout, Yuk, Jaga Kesehatan Mental Para Ortu

Parental-burnout

Orang Tua Stress Rentan Berujung Burnout

Hai Assalamu'alaikum

Duh, kembali pagi terulang, Saya cukup lama menghilang dari dunia blogging. Sejujurnya akhir-akhir ini Saya merasa lelah berkepanjangan. Mengulik kamar kenangan, saya pikir kondisi tubuh yang drop akibat aktivitas fisik yang lebih padat. Dimulai dari kegiatan tahlilan keluarga untuk mengenang setahun berpulangnya Uwak Saya, Si bungsu sakit yang cukup mengkhawatirkan hingga mempersiapkan si sulung berkegiatan di peringatan 17an.

Tapi setelah Saya cermati, lelahnya Saya malah lebih terasa saat bangun tidur. Saya merasa ada sesuatu yang kurang beres, seolah-olah Saya menjalani hari secara autopilot. Lalu Saya tracing betul-betul pola hidup Saya dan bertanya pada Suami serta si sulung, adakah perubahan pada sikap saya akhir-akhir ini? Keduanya kompak menjawab bahwa Saya semakin mudah marah.

Saya adalah orang yang cukup mudah terpancing emosi. Namun seiring berjalannya waktu serta berkat bantuan sahabat-sahabat Saya yang mengambil jurusan psikologi, rasanya bad habit tersebut sudah jauh berkurang. 

Akhirnya saya kembali berdiskusi dengan salah seorang sahabat Saya tersebut. Beliau adalah seorang psikolog profesional tetapi Saya hanya berkonsultasi secara kasual, tidak terperinci karena Saya tidak enak juga terlalu menyita waktunya.

Pembahasan seputar dunia pengasuhan anak menjadi menjurus ke kesehatan mental para orang tua. Dalam kondisi Saya, ada dua bahaya yang harus diwaspadai : Post-Partum Depresion atau Parental Burnout

Benar, Saya baru melahirkan enam bulan sebelumnya. Alhamdulillah tanpa kendala yang berarti. Anak kedua Saya termasuk happy baby yang mudah diasuh, bahkan terbilang anteng hingga jarang menangis. 

Meski ada tongue-tie dan liptie, anak saya tidak ada drama signifikan saat mengASIhi. Ya sempat di usia satu bulan dibawa ke dokter anak karena berat badannya tidak naik, ternyata ada indikasi infeksi saluran cerna, setelah diobati, semua baik-baik saja.

Support sistem Saya pun Ok, suami cukup membantu kegiatan rumah tangga. Ada uwak yang menolong memasak serta si sulung yang sudah bisa ikut bantuin Ibunya. All is well.

Nah, bila saya tidak mengalami Syndrome Babyblues, apatah mungkin saya kena Post-Partum Depresion (PPD)? Sependek pengetahuan Saya, PPD adalah akibat Babyblues yang tidak ditangani dengan baik.

Jadilah saya lebih mencari informasi mengenai Parental Burnout. Sesuatu yang masih kurang familiar bagi Saya. Pernah dengar mengenai burnout di perkerjaan, akibat tekanan stress terus menerus sehingga tidak nyaman lagi di pekerjaan tersebut.

Ya, kalau pekerjaan penyebabnya bisa macam-macam, misal jobdesk yang luar biasa, atasan yang sulit, rekan kerja julid, atau gaji yang tidak berimbang dengan effort. Kalau setelah diupayakan berbagai cara tetap tidak nyaman, solusi ultimate-nya, ya resign.

Eh, kalau sebagai orangtua, emangnya bisa gitu mau resign? Hoahaha.. 

Tentu tydack pemirsa, nanti malah dianggap kualat oleh Allah SWT.

Dari hasil tracing pola hidup, Saya menyadari bahwa ada perubahan yang terjadi. Selain ketambahan si adik, abangnya mulai sekolah tatap muka. Sistemnya full day school dari Senin hingga Jum'at. Artinya tugas saya pun bertambah, yaitu menyiapkan makan pagi lebih awal plus yang akan dibawa si Sulung dan membimbingnya bertransisi dari belajar secara daring selama dua tahun terakhir.

Iya, sebelumnya Saya dan si Sulung juga melewati fase  pindah kota, kemudian masuk sekolah dan lingkungan baru yang cukup menguras energi. Ia anak yang tipenya aktif, ekstrovert dan suka berteman, selama nyaris dua tahun kebanyakan hanya menghabiskan waktu dengan Saya dan Ayahnya.

Selain menemaninya dalam hal-hal mendasar, Saya turun tangan menjadi teman bermain yang lebih intensif. Mulai dari main lego, role playing, boardgame sampai Ia selalu Saya ajak dalam rutinitas jogging / jalan pagi atau sore. Dimana dulunya kegiatan ini semacam me time -Saya ada waktu tenang sendirian selama 30 menit hingga sejam-, menjadi sepanjang jalan Saya tetap harus meladeni rentetan pertanyaannya.

Saya menyadari Saya sering  stress dalam meladeninya. Sesuatu yang tidak bisa secara gamblang Saya akui, bahkan pada Suami Saya sekalipun. Kondisi inilah yang mendorong Saya sering terpancing emosi.

Stress sendiri ialah respon primitif tubuh yang timbul akibat adanya tekanan, baik eksternal maupun internal. Sebenarnya stress tidak selamanya negatif, ada faktor positifnya juga. Saat stress mendera, kita cenderung untuk berusaha berbuat yang lebih baik lagi.

Orangtua cendrung sering mengalami stress karena bagaimana pun ada tanggung jawab besar yang diemban. Anak ialah amanah langsung dari Tuhan. Tidak hanya diperhatikan tumbuh kembangnya secara fisik, kita pun sebagai orang tua harus menuntun anak sesuai kaidah agama dan norma susila serta negara.

Setiap anak itu unik. Ada yang pembawaannya mudah, ada yang sebaliknya, belum lagi seandainya dikaruniai anak yang memiliki kebutuhan khusus.

Ditambah pula faktor lingkungan, misalnya tidak ada support sistem, tekanan dari orang tua (kakek nenek), atau akibat terpengaruh paparan informasi dari media sosial.

Ada pula yang seperti mencari-cari masalah, memupuk gambaran ideal -terutama terpengaruh sosial media- sehingga berkeinginan selalu jadi orang tua dengan anak-anak yang 'sempurna'. 

Stress inilah lama kelamaan akan membawa para ortu ke titik Burnout. Kalau saat stress masih bisa menenangkan diri dan kemudian merasakan perubahan yang signifikan bahwa semua baik-baik saja, maka Parental Burnout ialah suatu kondisi burnout ketika kita menjalani peran selaku orangtua. Ada perasaan lelah bahkan jenuh secara fisik, mental dan emosional akibat parental stress yang berkepanjangan.

Ciri Orang Tua Yang mengalami Parental Burnout:

1. Merasa kelelahan meski ketika bangun tidur di pagi hari.

2. Mudah terpancing emosi terutama ke anak, merasa jauh secara emosional ke anak.

3. Merasa tidak berdaya atau tidak bisa menjadi orangtua yang baik, parahnya merasa gagal.

4. Membenci kegiatan keseharian terutama yang berkaitan dengan mengurus anak

5. Sulit berkonsentrasi ketika beraktivitas

6. Gangguan makan dan atau tidur, antara tidak berselera sama sekali atau malah makan atau tidur terus menerus.

Beberapa gejala memang Saya alami. Efeknya bisa merambat ke menurunnya kualitas hubungan dengan anak, pasangan serta kehidupan secara umumnya.

Beberapa langkah yang bisa diambil demi menjaga kesehatan mental selaku orang tua :

1. Atur Pola Hidup 

Saya selalu berusaha menerapkan pola hidup sehat, tetapi tidak selalu strick. Sepertinya semakin melonggar sejak meredanya pandemi. Jadwal olahraga pun belum kembali normal dengan alasan baru melahirkan. 

Saatnya saya menata ulang pola hidup dengan :

a. Membuat Skala Prioritas

Tentukan tujuan hidup yang utama dan turunkan ekspektasi. Baik bagi para orang tua yang full time di rumah, WFH, bekerja di luar maupun freelance, buat jadwal harian. Meskipun tidak bisa ajeg dipatuhi, lumayan menolong.

Dalam jadwal tersebut jangan lupa sediakan waktu untuk:

  • Me time tipis-tipis, lakukan hal yang disukai.
  • Beribadah tambahan, Sunnah lah istilahnya
  • Istirahat yang cukup
  • Berlatih relaksasi
  • Olahraga 

b. Bagi Tugas

Komunikasi adalah kunci dalam membangun kerjasama sebagai orang tua. Ajak suami berbagi urusan pengasuhan hingga pekerjaan rumah tangga. 

Bisa memungkinkan cari bala bantuan seperti mempekerjakan ART, sopir atau guru les bagi anak. 

c. Kelola Stress

Salah satu yang harus diupayakan ialah manajemen stress yang lebih baik. Bila merasa mulai tertekan, ambil jeda sejenak, atur pola napas atau hal lain yang bisa membuat lebih rileks.

2. Cari Sumber Permasalahan Bila Perlu Minta Pertolongan Profesional

Bila serangkaian tindakan pencegahan masih dirasa kurang memuaskan, segera lakukan evaluasi hidup. Berdialog dengan diri sendiri, akui dengan jujur sebenarnya apa yang membuat kelelahan? Apakah terlalu sibuk ? Atau faktor eksternal lain seperti masalah ekonomi, kurang mendapat dukungan dari pasangan atau anggota keluarga lain?

Apakah ada faktor penyulit lain, misalnya selama ini kita abai membaca tanda-tanda pada anak padahal sesungguhnya Ia mengalami gangguan atau hal lain yang membutuhkan diagnosa klinis dari ahli. Segera bawa anak ke klinik tumbuh kembang atau dokter spesialis anak atau psikolog anak untuk mendapat penanganan yang tepat.

Sebagai orang tua, kita pun harus mau mengakui bila sudah berada di titik burnout. Jangan ragu untuk ke psikolog untuk mendapat sudut pandang yang lebih objektif. Sekaligus mencegah permasalahan semakin berlarut-larut, terutama apabila kita telah mengalami: 

1. Sulit beraktivitas, termasuk makan dan tidur

2. Sulit mengontrol emosi saat bersama orang lain 

3. Keinginan menyakiti diri sendiri atau orang lain

4. Merasa tidak layak sebagai orang tua dan berharap anak mendapat orang tua yang lebih baik atau sebaliknya. 

❤❤❤

Semoga kita semua bisa bertumbuh bersama dengan anak-anak kita menjadi pribadi yang lebih baik dan terhindar dari Parental Burnout ya..


Sumber  bacaan : 

Mikolajczak, M., Gross, J. J., & Roskam, I. (2019). Parental burnout: What is it, and Why does it matter? Clinical Psychological Science, 7(6), 1319–1329. https://www.researchgate.net/publication/332402868_Parental_Burnout_What_Is_It_and_Why_Does_It_Matter