Tetangga Kok Gitu

 

Tetangga-kok-gitu

Judul Buku: Tetangga kok Gitu
Penulis: Annie Nugraha 
Penerbit: Stiletto Indie Book 
Ilustrasi: Rini Uzigan dan Annie Nugraha 
Tahun Terbit : cetak September 2021, ebook 2022
Jumlah Halaman: 142
ISBN: 978-623-6400-88-3 

Blurb 


Hidup bertetangga itu banyak cerita, dinamika dan lika-likunya. Mulai dari hal remeh temeh hingga sesuatu yang serius untuk dibahas. Semua seru untuk diceritakan tanpa terkecuali. Topiknya juga beragam. Bisa soal anak, kehidupan percintaan suami istri, sampai beberapa kejadian yang bikin heboh orang sekompleks. Yang pasti, dari apa yang sudah kita alami, tentunya banyak hikmah yang bisa didapat dari bergaul dan hidup bersama dengan tetangga.

Beberapa di antara keseruan itu terekam dengan baik dalam ingatan saya dan begitu menggoda untuk dihadirkan ke hadapan publik. Jadi, sewaktu menuliskan kisahnya satu demi satu, saya diliputi oleh nostalgia berkepanjangan diiringi dengan senyum semringah, dada berdebar, bahkan merinding takut akan sebuah kejadian mistis yang di luar nalar.

Anda punya pengalaman yang sama atau hampir mirip dengan apa yang pernah terjadi dengan saya dan tetangga? Berbagilah dengan saya melalui Instagram dengan men-tag @annie_nugraha.

Review

Eh, Koq gitu, sih?"

Mungkin adalah reaksi yang paling sering keluarga kami ucapkan ketika menyangkut tentang tetangga.

Bukan, bukan merasa sebagai polisi moral atau yang paling baik akhlaknya, justru sebagian besar karena kami yang paling terlambat update informasi.

Diawali dari kedua orang tua Saya yang merantau ke Ibukota Negeri ini dikala masih belia. Keduanya sudah puas makan asam garam hidup bertetangga di kompleks atau perumahan. Lama tinggal di komplek perumahan pegawai pemerintah di salah satu departemen "lahan basah", kedua orang tua Saya kurang menyukai sikap kompetitif terutama mengenai materi. 

Sehingga ketika keduanya memutuskan menikah, mereka kompak akan membangun rumah keluarga di perkampungan. Maksudnya, berusaha membeli tanah kosong dan membangun sendiri diatasnya, bukan membeli rumah dari pengembang ataupun dialihtangankan dari pemilik sebelumnya.

Tujuan awalnya ialah agar suasana kekeluargaan lebih dekat. Tidak terlalu "elu elu gue gue" atau saling bersaing.

Qadarullah diijabah Allah, meski beberapa kali berpindah kota mengikuti pekerjaan Ayah, kami selalu tinggal di daerah perkampungan yang guyub. Saling tolong menolong dan berbagi dalam suka maupun duka.

Barangkali, kami lah yang (mungkin) dianggap tetangga sombong. Tegur sapa dengan tetangga sekitar sekedarnya, jarang ikut ngumpul dan ngegosip.

Salah satu alasan utama kami tidak suka kepo dengan kehidupan tetangga. Makanya paling telat mendapat informasi kecuali dari pengumuman lewat ToA mesjid. 

Ditambah pula menjelang usia 35 tahun, Ibu Saya sempat mengalami sakit penyempitan syaraf di tulang belakang. Salah satu larangannya ialah banyak duduk melantai. Jadilah Ibu tidak aktif di arisan RW. Beliau hanya datang saat ada musibah kemalangan atau hajatan yang biasanya tetamu duduk manis dikursi. Padahal pertemuan para Ibu biasanya sumber palin sahih dari segala informasi.. Hoahaha 

Sementara Ayah saya sangat sibuk dengan kegiatan dinas, jarang punya waktu bersosialisasi dengan tetangga kecuali saat waktu shalat berjamaah. Apalagi saya dan adik juga masuk ke sekolah favorit dengan jadwal padat. 

Namun, rumah kami selalu terbuka untuk siapapun yang meminta bantuan. Terutama karena kami adalah penghuni yang punya kendaraan roda empat. Bahkan sempat ada dua, satu mobil dinas Ayah yang berupa mobil pick up.

Teringat kenangan Ayah Saya kerap dibangunkan tengah malam untuk diminta mengantar tetangga yang sakit, mau melahirkan bahkan menjemput jenasah dari kota yang berjarak beberapa jam. Ada pula yang meminjam mobil bak untuk kegiatan pindahan, gotong royong dan lain sebagainya.

Nah, dinamika bertetangga yang seru dan selalu menarik untuk diulik ini disampaikan dengan bijak oleh Annie Nugraha. Beliau seorang travel blogger, book reviewer, pengajar dan crafter yang produktif.

Ada dua belas kisah bertetangga yang dituangkan dalam buku setebal 142 halaman -termasuk halaman kata pengantar, dan lainnya ini.

Meski diterbitkan oleh Stiletto Indie Book, rasanya seperti membaca buku terbitan penerbit mayor.
Editing rapi, Saya hanya menemukan satu saja saltik berupa pengulangan kata. Layoutnya juga ciamik, dihiasi dengan ilustrasi yang mengingatkan saya akan buku Hans Christian Andersen yang saya baca di masa kecil. Ditambah bagian moral of the story' yang diimuat diakhir setiap cerita menambah asupan nutrisi ruhani bagi pembaca.

Penggunaan diksinya pun membuat saya merasakan nostalgia. Mbak Annie berhasil memadukan istilah angkatan saya seperti TOP BGT (teopebegete) dan SKSD (Sok Kenal Sok Dekat) dengan istilah kekinian.

Dalam pengantar, dijelaskan oleh mbak Annie bahwa 90%  yang diangkat sangat dekat dengan kejadian yang mungkin kita alami saat berinteraksi dengan para tetangga. Ada yang bikin gemes, kocak, ada yang haru, bahkan ada pula yang bikin bulu kuduk meremang.

Kisah yang paling mengena di hati ialah "Ketika Ibu Tiada". Duh, Saya yang terkenal anti mewek saat baca atau nonton film/serial TV bisa kepikiran berhari-hari.

Diawali dengan kisah Mbak Annie yang mendapat chat untuk segera berkumpul demi membahas masa depan tiga orang anak sahabat sekompleks yang telah tiada.

Keakraban antar keluarga, berubah menjadi tragedi ala musim pertama serial Desperate Housewives kala salah seorang ibu diantaranya ada yang meninggal. Nasib ketiga anak yang masih kecil -kecil, dengan tega dipisahkan beda kota bahkan pulau oleh ayah mereka sendiri. Usaha Mbak Annie dan para sahabat untuk memberikan masukan pun ditolak, dengan alasan yang ternyata makin mengiris hati.

Secara garis besar Mbak Annie memang mengajak kita mampu beradaptasi dan menempatkan diri saat berinteraksi dengan tetangga. 

1. Posisi Netral

Tidak usah ikut campur, cukup jadi pengamat setia saja. Misalnya saat anak-anak bertengkar. Jangan pula orang tuanya gampang baper. Namanya anak-anak, mereka mudah saling memaafkan dan kembali rukun.

2. Posisi Memihak

Saat dihadapkan dalam keadaan genting yang memang nyata-nyata bisa membahayakan salah satu pihak. Misalnya saat ada kasus kekerasan dalam rumah tangga dan jelas korban meminta pertolongan ke rumah kita. Kita berhak mempertahankan keamanan rumah dan pelaku tidak boleh sembarangan masuk atau menganggap kita ikut campur. Bila perlu segera lapor pak RT atau perangkat lingkungan lainnya.

3. Posisi Mengikhlaskan

Bila kita sudah berupaya mencari jalan keluar terbaik, tetapi tidak mencapai kesepakatan dengan tetangga ataupun ide atau niat baik kita ditolak. Sebagaimana yang terjadi dalam kasus ketiga anak yang ditinggal ibunya.

Jadi penasaran kan, dari kumpulan cerita di buku ini, cerita mana yang memberikan contoh posisi kita sebaiknya sebagai tetangga harus bagaimana?

Overall, Saya beri rating 4,5 dari 5 di akun Goodreads saya. Ohya, Saya membaca versi e-book ya. Tersedia di Google PlayStore dan Ipusnas. Teman -teman sudah baca?