It's so called..Boyfriend

Sahabat jadi cinta


Actually, I'm kinda tomboy. Mungkin karena saya tidak punya saudara laki-laki, jadi segala aktivitas kelelakian biasa dilakukan ayah dengan saya dan adik yang keduanya perempuan. Bergantian kami biasa menemani ayah nonton pertandingan bola atau tinju; ke bengkel atau nyuci mobil sampai belajar nukang alias memperbaiki rumah. 

Dari segi penampilan, ketomboy-an itupun sangat melekat : saya malas berdandan! Dari zaman SD saya sering kabur sebelum diperintah ibu mengoleskan bedak. Menggunakan lipgloss pun saya belajar dari adik (kaceknya 4 tahun, lho padahal) yang Alhamdulillah lebih feminim dan sering mengikuti kegiatan tari menari. Gedean dikit, saya selalu ngeles, berdandan keluar rumah itu dilarang, hanya buat suami nanti saja. (kenyataannya setelah bersuami malah sama saja Hoahahahaa). Pola pikir saya pun sedikit terpengaruh, walau tidak seratus persen selalu logis, masih suka baper juga. Minimal saya lebih berani ketimbang sebagian besar anak cewek dan ya... dengan bangga saya nyatakan : I can read map! Ini penting lho hehehehe, karena sangat bermanfaat waktu travelling ke tempat-tempat baru, misalnya negeri Jiran yang jelas mapingnya

Dan yang paling penting, saya selalu merasa nyaman bersahabat dengan cowok karena (menurut saya) lebih bisa memahami pemikiran mereka. Tentu saya selalu punya sahabat cewek in every stage of my life yang deketnya sampai ke keluarganya juga. Untuk mereka dan keluarganya, saya selalu berterimakasih atas segala bantuan yang diberikan kepada anak rantau ini. Mulai dari numpang makan sampai nginep di rumah di kota asal, saya sangat mensyukurinya.

Tapi tetap, in every stage of my life, I also had a boyfriend. No, not interm romantic relationship. True bestfriend regadless everyone else said. Memang seiring berjalannya waktu, karena satu dan lainnya tentu tidak bisa seakrab sebelumnya. 

Sahabat cowok saya di masa sekolah dasar ada beberapa orang yang saya rasa nyambung banget untuk diajak ngomongin komik dan kartun, my main interest at that time. Di Sekolah Menengah Pertama (SMP) ada satu orang selain beberapa teman cowok lainnya yang dekat dan akrab sebagai suatu gank besar dengan sahabat cewek saya. Yang saya ingat dia pernah berpacaran dengan salah seorang sahabat baik saya juga. Setalah sahabat saya itu pindah kota kami menjadi dekat karena sering membahas kabar teman saya itu (masih berteman juga di sosial media sampai sekarang). Selain itu saya denganya selalu datang paling pagi ke sekolah, dia karena sekalian nebeng ayahnya membawa angkutan kota dan saya karena ayah saya disiplin sekali dan malas kejebak macet. Seru! Setiap pagi saya selalu bisa bersgosip apa saja, mulai dari Clear Top Ten (acara musik tangga lagu populer zaman itu), gosip teman-teman sekolah atau artis, sampai tukar-tukaran soal ujian karena kami beda kelas. Sayangnya sewaktu masuk ke Sekolah Menengah Atas (SMA) kami tidak satu sekolah lagi. Saya sempat sedih, tapi sekaligus bangga sekali, karena di sekolahnya dia menjadi ketua OSIS dan sangat populer (in case kamu baca ini, doaku selalu adalah semoga segera bertemu belahan jiwa ya Ben)

Lanjut dimasa SMA inilah drama sahabat jadi cinta terjadi. Detilnya kayaknya cukuplah menjadi kenangan karena sekarang kami masing-masing telah membina keluarga. He's also married to one of my childhood friend. 

Baca juga : More Than Friends

Next, masa kuliah, diawal saya masih 'jalan' dengan sahabat SMA itu, tapi saya menemukan dua orang sahabat cowok. Dua-duanya deketnya rame-rame jadi satu gank gitu. Seorang adalah teman seangkatan yang sering nebeng juga dengan mobil sahabat cewek yang saya tumpangi. Seorang lagi adik tingkat, yang menjadi akrab setelah mengikut suatu Kelompok Studi Bahasa Asing. Both of them also married with women from our almamater.

Masa post graduated juga saya bersahabat dengan dua cowok bersama tiga sahabat cewek membentuk satu gank yang seru abis. Most of them are married, kecuali satu cowok yang kabarnya akan menikah tahun ini dan salah seorang sahabat cewek.

Disaat kuliah, saya juga bersahabat dengan anak-anak fakultas Psikologi yang tinggal sekosan. Anehnya merka selalu menentang keyakinan bahwa cowok dan cewek bisa murni sekedar sahabatan. Entah karena memang ada bukti penelitian yang valid atau sekedar didasari pengalaman pribadi, saya juga ga tau pasti. Yang jelas saya masih pro, walau beberapa ada pengecualian. Saya ga bisa menceritakan dengan detil siapa yang mana ya.. tapi kenyataannya yang terjadi :
1. Salah seorang dari sahabat cewek segenk saya memtuskan tali silahturahni sepihak. Tiga tahun setelahnya saya baru mengetahui cerita dibaliknya, ternyata selama ini dia ada hati dengan salah satu sahabat cowok saya tapi tidak berani jujur. Dilalahnya si cowok itu selalu dijodoh-jodohkan teman sekelas dengan saya yang lagi jomblo. Saya sungguh menyesal, karena saya benar-benar ga ada rasa apa-apa dengan sahabat cowok saya tersebut. Jadi andaikata dia jujur dari awal mungkin sayalah orang pertama yang akan mati-matian mencomblangi mereka berdua.
2.  Saya sempat merasa aneh dengan sikap salah satu teman cewek seangkatan yang saya yakin tidak memiliki kesalahan khsusus padanya. Ternyata ada kaitannya juga dengan salah seorang sahabat cowok saya. Bisa dibilang si cewek (mungkin) sudah naksir dari zaman kuliah. Saya ga pernah dapat konfimasi alasan sikapnya, tapi yang jelas akhirnya mereka happy ending lho.

Masa kerja pun saya merasa cukup dekat dengan teman sekator yang cowok. Minimal mereka mau jadi tempat saya curhat dan mereka juga bisa nyaman curhat tentang segala hal pada saya. Ohya sahabat cowok S2 saya pun masih kerap menelepon untuk saling bertukar kabar.

Dan malam ini saya baru mengetahui dua teman saya sejak SMP sempat dekat juga dimasa kuliah. Actually they are bond as one of very strong gank of friendship over almost 20 years. Sadly, mereka ga berjodoh, ternyata ga semuanya bagaikan kisah drama Korea ya.. Jodoh memang misteri Illahi yang terbesar bagi ummatnya selalin kelahiran, rezeki dan maut.

Sebagaimana yang pernah saya bahas dipostingan yang ini, buat saya gapapa sebenernya sahabat jadi cinta asal siap dengan konsekuensinya. Di satu sisi kalau perasaanmu hanya bertepuk sebelah tangan, biasanya persahabatan jadi terasa akward sesudahnya. Atau mencintai dalam diam, bila semesta memang tidak mendukung dan kesempatan telah lewat, segala resiko penasaran ga perlu dibahas lagi demi menghormati pasangan masing-masing saat ini. Yang paling menyenangkan tentu bila gayung bersambut, walau pe-ernya tetap ada. Menikah dengan sahabat sendiri tentu ada plus minusnya juga. Jelas resiko yang paling berat, jika kandas sebelum pelaminan. Rasa sedih kehilangan sahabat itu yang lebih berat dari pada putus cintanya itu sendiri lho... *curcol,, eaaaa*