Apakah Seorang Gadis Harus Pandai Masak?

One word that mean so much.
cake marmer annisakih
Cake andalan Omama, sehat tanpa pengembang tambahan

Iya gimana ga so much, kalau kedua orang Uwak saya berpesan setiap saya pulang liburan ke Muara Dua selalu "cinta itu awalnya dari perut", suami pasti maunya makan masakkan istrinya. Padahal kalau di rumah sendiri Ibu ga pernah mewajibkan anak-anaknya bisa masak. Soale berbeda dengan kakak-kakanya tadi yang memang passionnnya cooking and baking, Ibu saya tergolong 'males' masak. Bukan berarti Ibu saya ga bisa masak ya.. Empek-empek, ayam goreng dan asam pedas patinnya boleh koq disejajarkan dengan restoran manapun. Tapi Ibu selalu beralasan sebagai anak asrama sejak usia 15 tahun, kemampuan masak Ibu ya standar ajalah. Kalau lagi masanya banyak aktivitas atau hal urgent lain di hari itu, Ibu saya (termasuk kami) ga masalah koq untuk memesan di restoran atau makan dengan lauk seadanya mulai dari telur ceplok sampai bakso dan sate sebagai pengganti lauk.

Ayah saya malah lebih jago masak dari Ibu. Ayah yang sudah merantau sejak sekolah dasar bisa meracik berbagai masakan sederhanapun jadi istimewa. Apalagi Kepiting lada hitamnya, one of his best dish, kita bisa nambah berkali-kali. Ayah jugalah sang "pencicip rasa" di rumah. Misalanya mencicipi aneka masakan kalau kami mau open house untuk lebaran, arisan atau acara-acara lain. Jadi komplimen terbesarnya adalah sewaktu ayah memuji masakan yang dimasak hari itu. 

Keininginan saya untuk mulai memasak sepertinya tumbuh sendiri sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP). Awalnya males-malesan juga, terutama ngulek (masih ga bisa sampe sekarang huhuhuhuhuu). Ternyata berguna banget pas kelas dua SMA saya memutuskan ga ikut pindah ke Tanjung Balai Karimun. Di Pekanbaru, rumah kami saat itu lumayan dekat dari pasar tradisional, jadi setiap hari minggu saya berbelanja keperluan masak seminggu. Menunya tetap yang gampang semacam goreng. tumisan atau balado. Masaknya juga bergantian dengan Sinta, adek yang menemani saya sekolah.

Lanjut pas kuliah, kosan saya ga ada dapurnya. Alhasil skill masak saya ya masih gitu-gitu aja sampai lulus S2. Nah, setelah lulus dan balik ke rumah baru deh, ayah sambil bercanda bilang kalau saya sudah waktunya bisa masak. Sejak itu saya masak setiap hari (dibawah supervisi Ibu tentunya), menunya agak "lebih sulit" semacam gulai, semur, soto, atau masakan khas daerah ayah seperti pindang dan rerancang. Rasanya gimana? Ya gitu deh, enggak konsisten. Kadang enak banget, kadang hambar, kayaknya walau menunya sama saya emang kurang punya sense menakar bumbu. Minimal saya lebih percaya diri dan tahun 2013, lebaran terakhir sebelum menikah, saya berhasil menghidangkan menu lebaran tradisi keluarga yaitu ayam goreng, kuah ketupat, rendang, acar nanas dan sambal all by my self. Rasanya juga ga terlalu mengecewakan koq. 

Setelah menikah saya tinggal di rumah suami, seleranya jelas agak berbeda. Saya belajar dari ibu mertua membuat masakkan melayu sepeti ikan pedas khas sana dan masakan Jawa. Tanpa disadari saya bisa memasak bacem, sayur asem, sayur lodeh, sambal goreng, dan menu lainnya yang sebelumnya tidak muncul di rumah sendiri. Skill saya masih pas-pasan sih, makanya setiap ada kegiatan rewang (masak bersama para ibu di rumah yang mengadakan hajatan) saya berusaha menyerap ilmu sebanyak-banyaknya. Bagaimana cara mengupas bawang putih yang lebih cepat (direndam air dulu); menggoreng telur untuk telur balado yang benar (Ibu ngajarinnya minyaknya cuma dikit, makanya selalu meletos hoahahahahaa) atau mencatat resep-resep baru seperti telur kepit dan kimlo. 

Senengnya sekarang resep-resep sangat mudah didapatkan dari internet. Berbagai resep masakan juga wara-wiri di Facebook atau Instagram lengkap dengan video step by step. Kalau dulu saya harus cepat-cepat mencatat dari acara memasak di televisi atau mengkliping resep dari koran. Saya sampai punya dua bundel lho. Termasuk guilty pleasure juga sebenernya ngumpulin resep ini. Banyak yang tercecer saat pindah dari Pekanbaru ke Tanjung Balai Karimun, tapi seinget saya masih ada resep yang bertanggal koran edisi tahun 1992! Hampir sebaya Ani ya hehehehehe.. 


Ngomongin soal Ani, adek saya ini passionnya lebih kemakanan manis deh. Kalau bikin kue semacam brownies, cake sampai puding juara deh. Apalagi kue kering, bentuknya bisa seragam. Buat empek-empek dia juga lebih jago, bentuknya simetris dan jarang pecah kapal selamnya. Cuma ya itu, kalau ke dapur harus ada asisten tukang sulapnya. Contoh yang saya inget, pernah dia ngajakkin bikin bakpao, saya yang bikin fillingnya (ragout ayam, enak banget), dia baru ngisi dan ngukus 2-3 ronde terus udahan. Jadilah saya yang menyelesaikan bakpao dari sebungkus tepung bakpao seorang diri. Hasilnya banyak sekali, tetanggapun bisa kecipratan, tapi ga kecipratan dongkolnya saya ngerjain bakpao sampai sore plus ngemas dapur dan nyuci peralatan masakknya. 

Sekarang sih cita-cita saya sederhana, bisa masak yang enak. Enak disini yang bisa bikin Ziqri dan ayahnya mau makan yang banyak. Karena mereka berduanya makannya agak susye.. Bukan pilih-pilih menunya, tapi harus yang tasty, enak! Wish me luck aja yee..