Pencapaian Tertinggi Ialah Ketika Bermanfaat Bagi Sesama

Pencapaian Tertinggi Ialah Ketika Bermanfaat Bagi Sesama

 Day 4 : Pencapaian Tertinggi Dalam Hidup

Ketika hendak menulis sesuai dengan tema ini, koq rasanya kehidupan saya biasa-biasa saja. Saya adalah orang yang biasa banget☺. Dari segi tampang dan penampilan, I’m an ordinary person. Saya merasa tidak punya bakat yang terlalu menonjol pun tidak telalu aktif berkegiatan ekstrakurikuler.

Lulus dari salah satu PTN terbaik dengan nilai cumlaude dan menyelesaikan program magister di usia 23,5 tahun pun masih banyak yang melampaui. Alhamdulillah, Allah maha baik, semua berkat keluarga dan kehadiran orang-orang baik disekeliling saya.

Sedari kecil saya sadar benar bahwa kedua orang tua saya adalah orang yang mengedepankan pentingnya belajar. Bukan dengan paksaan, namun dengan contoh cara mereka belajar. Kedua orang tua saya sudah merantau sejak remaja ke Ibukota negeri ini. Ayah saya tinggal bersama dengan  kerabat. Tentu saja, Ia harus aktif membantu urusan rumah tangga sebelum bisa belajar. Tak jarang, beliau baru bisa mengulang pelajaran pada tengah malam atau dini hari. Ibu saya pun melakukan hal yang sama, bersekolah di sekolah kedinasan, ibu harus membagi waktu antara bekerja dan belajar.

Jadi, sebagaimana yang pernah saya ceritakan, bahwa saya selalu menganggap diri saya tidak pernah belajar, kerena cara belajar saya yang seringkali kebut semalam tidak sama dengan belajar berkesinambungan yang selalu dicontohkan oleh kedua orang tua saya. Masuk sepuluh besar hingga menjadi juara kelas, menurut saya adalah campuran faktor genetik –Alhamdulillah, diberkahi Allah daya ingat cepat—dan faktor keberuntungan semata.

Saat saya kelas dua SMA, ayah pindah kerja dari ibukota propinsi ke daerah. Daerah tersebut baru dimekarkan menjadi suatu kabupaten. Ayah merasa terpanggil untuk mengembangkannya bersama-sama perangkat daerah lain.

Saya, yang saat itu bersekolah di suatu sekolah terbaik di tingkat propinsi meminta agar tidak diajak turut pindah. Awalnya, kedua orangtua saya khawatir, karena sejak kecil saya cenderung bersikap kekanakan, sembrono dan pelupa. Namun setelah bujukan, ayah dan ibu setuju, selama saya mematuhi batasan waktu keluar yang kami sepakati dan ditemani seorang adik asuh yang didatangkan dari kampung untuk sama -sama bersekolah.

Dimulailah kehidupan saya, menghadapi jadwal sekolah yang cukup padat, pulang pergi dengan kendaraan umum dan harus mengurus segala keperluan rumah.

Semua saya jalani dengan gembira dan bersemangat.

Qadrullah, saya sempat kena tipes dipenghujung semester pertama tahun ajaran baru berikutnya. Karena transportasi dari Pulau tempat ayah dan ibu menetap belum selancar sekarang, ibu baru datang di hari kedua saat saya rawat inap.

Ada kelegaan saat saya sudah diperbolehkan pulang beberapa hari setelahnya. Setelah kembali ke rumah, teman-teman sekelas baru datang menjenguk karena memang saya rahasiakan. Selang beberapa hari setalah itu, saya harus mengikuti ujian semester pertama di kelas tiga (sekarang kelas XII) SMA.

Saat pembagian  raport, ada satu percakapan yang tak terlupakan antara wali kelas dan ibu saya,

"Nisa anaknya kuat ya Bu, saya ga tahu deh, kalau anak saya sendiri yang ada diposisi ditinggal orangtuanya pindah bisa bertahan atau tidak. Nilainya pun bagus, masih bisa mempertahankan posisi sepuluh besar"

Sejujurnya tidak tahu, apakah wali kelas saya hanya berbasa-basi, saya tidak kenal anaknya pun di kelas saya ada dua siswi lain yang posisinya sama, ngekos dan jauh dari orangtua demi sekolah. Yang jelas, saat itu saya merasakan salah satu pencapaian terbesar dalam hidup saya. Dari sorot mata ibu saya, di detik itulah saya tahu, bahwa Ibu benar-benar menunjukkan rasa percaya bahwa saya telah cukup dewasa (meski secara usia baru 17 tahun).

Rasa terimakasih kepada wali kelas tersebut, saya wujudkan dalam semangat dikala saya ditunjuk menjadi wali kelas ketika mengajar dulu. Di suatu Madrasah Aliyah di pulau imut-imut dengan murid yang tidak terlalu banyak, sehingga hubungan sesama warga sekolah serasa keluarga.

Kedekatan itu berwujud manis, saya merasakan salah satu pencapaian terbesar saya berikutnya ketika lima dari sepuluh anak perwalian saya berhasil lulus tanpa tes di suatu perguruan tinggi negeri di ibukota propinsi Kepulauan Riau. Empat diantaranya mengambil penawaran tersebut, sedangkan seorang lagi memilih mengambil sekolah kedinasan di lain kota.

Saya benar-benar merasa senang sekali ketika kini mereka masih kerap menghubungi saya. Sekedar menyapa, menanyakan tugas kuliah hingga berdiskusi tentang pemilihan judul tugas akhir. Ada rasa haru yang tidak bisa saya lukiskan dengan kata-kata.

Saya jadi teringat sabda Rasulullah, SAW bahwa "Sebaik-baik manusia diantaramu ialah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain." (H.R. Bukhari)”

Sekarang di usia yang terbilang cukup matang ini, saya semakin menyadari, bahwa kebahagiaan saya terletak pada seberapa banyak kebaikan yang bisa saya bagikan kepada orang lain. Tidak muluk-muluk, keputusan saya dan suami untuk pindah ke kampung halaman dan menjaga para Uwak adalah ikhtiar nyata. Ditambah dengan setiap pencapaian tumbuh kembang putra semata wayang saya --Ziqri—terasa sebagai suatu pencapaian yang sangat bermakna sebagai seorang ibu.

Iya, hidup adalah suatu proses, yang menyadarkan diri saya, bahwa pencapaian terbesar dalam hidup bisa berbentuk amalan sekecil biji zarah yang membawa kebaikan dan kebermanfaatan bagi diri sendiri dan bagi orang lain.

Kalau teman pembaca, apa sih pencapaian terbesar dalam hidupmu?